Indonesia memiliki berbagai kekayaan
alam yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi makanan atau pangan
fungsional. Salah satunya kelapa
sawit. Makanan atau pangan fungsional
merupakan pangan alami (sebagai contoh, buah-buahan dan sayur-sayuran) atau
pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan
dampak positif pada fungsi metabolisme manusia (Widarta, 2007).
Kelapa
sawit mengandung kurang lebih 80 % perikarp dan 20 % kernel yang dilapisi kulit
yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp
sekitar 34 sampai 40 %. Kelapa sawit
dapat menghasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang
berasal dari daging buah kelapa sawit disebut minyak sawit kasar (CPO/Crude
Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan
minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) (Ketaren, 2005).
Proses pemurnian minyak terdiri dari
beberapa tahap yaitu pemisahan gum (degumming),
netralisasi (deasidifikasi), pemucatan (bleaching)
dan deodorisasi. (Allen, 1997). Minyak sawit memiliki kandungan gizi yang lebih
unggul dibandingkan dengan minyak zaitun, kedelai dan jagung. Selain mengandung provitamin A yaitu
α-karoten, β-karoten dan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol), minyak sawit
mengandung berbagai jenis zat bioaktif lain seperti riboflavin, niasin,
likopen, mineral yang terdiri dari fosfor, potassium, kalsium, dan magnesium
(Sibuea, 2011).
Selain dikembangkan sebagai minyak
goreng, minyak sawit dapat diaplikasikan untuk mensintesis berbagai produk
pangan karena kandungan mikronutrien yang tinggi seperti karotenoid (500 sampai
700 ppm) dan vitamin E (1000 ppm).
Minyak sawit mentah atau CPO berwarna merah-kekuningan menandakan
kandungan karotenoid yang tinggi (Sibuea ,2011).
Karotenoid merupakan pigmen
alami dalam minyak sawit yang berwarna kuning sampai merah. Karotenoid pada minyak sawit ini merupakan
nilai tambah atau keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Karotenoid mempunyai aktivitas yang penting
bagi kesehatan, namun mempunyai sifat yang sensitif terhadap terhadap beberapa
kondisi pengolahan minyak makan secara konvensional yaitu pengolahan suhu
tinggi maupun oksidasi (Winarno, 1997).
Untuk
menghasilkan minyak sawit dengan kandungan karotenoid yang tinggi maka proses bleaching dan deodorisasi tidak
dilakukan karena komponen minor seperti karotenoid akan terserap oleh bleaching earth (tanah pemucat) dan
rusak oleh suhu tinggi (260 – 280 OC) dan tekanan vakum rendah pada
proses deodorisasi (Ariana et al., 1996).
Menurut Rossi et al. (2001), bleaching
earth dapat menyerap sekitar 20 sampai 50 % karotenoid dari degummed oil. Hasil pengolahannya disebut minyak sawit
merah (Red Palm Oil). Minyak sawit
merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses pemucatan (bleaching)
dengan tujuan mempertahankan kandungan karotenoidnya. Minyak sawit merah ini telah dikembangkan
sebagai produk baru oleh Malaysian Palm
Oil Board, karena minyak sawit merah kaya akan senyawa fitokimia seperti
tokoferol, karotenoid, ubiquinon, dan sterol (Ping dan May, 2000).
Menurut Basiron dan Weng (2004), manfaat
dari minyak sawit merah yang tidak dihilangkan kandungan karotennya selama
pengolahan dapat digunakan sebagai pangan fungsional, karena minyak sawit merah
berperan sebagai carrier provitamin A
dan vitamin E untuk konsumen. Minyak
sawit merah dapat juga digunakan sebagai pewarna alami.
Setelah proses degumming dan netralisasi dilakukan, maka dilakukan tahap
fraksinasi. Fraksinasi dilakukan untuk
memisahkan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein) dari minyak (Timms,
1997). Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dari
minyak, dengan winterisasi. Proses ini
merupakan pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari
trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5 sampai 7 OC. Pada proses pembuatan minyak merah, pemisahan
dengan metode ini sering menyisahkan sebagaian kecil dari fraksi stearin
sehingga terbentuk endapan apabila disimpan.
Stearin merupakan fraksi yang lebih solid
(padat), fraksi ini merupakan co-product
yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama dengan olein.
Stearin memiliki slip melting point (titik leleh) pada kisaran 46 sampai 56 OC,
sedangkan olein pada kisaran 13 sampai 23 OC. Hal ini menunjukkan
bahwa stearin yang memiliki slip melting
point yang lebih tinggi akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar
(Choo et al., 1993). Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang lama dan
kecepatan sentrifugasi untuk menghasilkan minyak merah fungsional yang memiliki
karakteristik sesuai standar.
Minyak
sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses pemucatan (bleaching)
dengan tujuan mempertahankan kandungan karotenoidnya. Bleaching
bertujuan menghilangkan sebagian besar bahan pewarna tak terlarut atau bersifat
koloid yang memberi warna pada minyak (Nagendran et al. 2000). Menurut
Helena (2003), sekitar 80% karotenoid hilang selama proses bleaching. Sedangkan
menurut Ketaren (2005), arang aktif (bleaching agent) sebesar 0,1 sampai
0,2% dari berat minyak dapat menyerap zat warna sebanyak 95 sampai 97% dari
total zat warna yang terdapat pada minyak sawit kasar. Dibandingkan dengan minyak goreng biasa, minyak sawit merah
memiliki aktivitas provitamin A dan vitamin E yang jauh lebih tinggi. Karakter ini membuat minyak sawit merah
sangat baik dipandang dari segi nutrisi (Jatmika dan Guritno, 1997). Gambar minyak sawit merah dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Minyak kelapa sawit merah (RPO)
Minyak
sawit merah mengandung karoten sebesar 600 sampai 1000 ppm. Karotenoid yang
terdapat dalam minyak sawit terdiri dari α-karoten ± 36,2 %, β-karoten ± 54,4
%, τ-karoten ± 3,3 %, likopen ± 3,8 %, dan santofil ± 2,2 % (Naibaho, 1990). Menurut Sukarjo et al. (1991), sebanyak
kurang lebih 800 ppm tokoferol terdapat dalam minyak sawit yang merupakan
campuran dari α-tokoferol 20 %, α-tokotrienol 25 %, τ-tokotrienol 45 %, dan
δ-tokotrienol 10 %. Kelompok senyawa
tokoferol ini tidak hanya penting karena peranannya sebagai antioksidan alami
tetapi secara fisiologis juga aktif sebagai vitamin, yaitu vitamin E. Sedangkan menurut Kritchevsky (2000), kadar
karotenoid pada minyak sawit merah yaitu sebesar 550 ppm (sebanyak 375 ppm
adalah β-karoten), dan kadar tokoferol sebesar 468 ppm.
Karotenoid
memberikan karakteristik warna orange
sampai merah pada minyak sawit.
Karotenoid, khususnya α-karoten dan β-karoten merupakan precursor
vitamin A di dalam tubuh (Nagendran et al. 2000). Minyak sawit yang berwarna merah dapat
digunakan untuk menanggulangi defisiensi vitamin A karena kandungan
β-karotennya (Muhilal, 1991). Selain
itu, dapat digunakan untuk mencegah penyakit jantung koroner dan penyakit
kanker, serta mengganti sel-sel yang telah rusak (Iwasaki dan Murakoshi, 1992).
Minyak
sawit merah komersial biasanya merupakan fraksi olein minyak sawit mentah.
Minyak sawit merah fraksi olein diperoleh dengan memisahkan fraksi olein dari
fraksi stearin melalui peningkatan suhu hingga 70 OC dan penurunan
suhu secara perlahan-lahan hingga suhu kamar sambil diaduk (Weiss, 1983). Setelah
difraksinasi, minyak sawit merah ini terpisah menjadi dua fraksi yaitu olein
(cair) dan stearin (padat). Menurut Choo
et al. (1989), minyak
sawit merah fraksi olein mengandung karotenoid sebesar 680 sampai 760 ppm dan
minyak sawit merah fraksi stearin ternyata masih memiliki kandungan karotenoid
yang cukup tinggi, yaitu sebesar 380 sampai 540 ppm. Sehingga fraksi stearin juga bisa
dimanfaatkan sebagai minyak makan.
Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah
diperlihatkan pada Tabel 4.
Table
4. Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah.
Sampel
|
ALB (%)
|
BP (meq/kg)
|
Karoten (ppm)
|
Tokoferol
(ppm)
|
Fe (ppm)
|
P (ppm)
|
Minyak sawit merah
|
3,53
|
2,32
|
643
|
869
|
-
|
-
|
Olein minyak sawit dengan pemurnian
|
3,53
|
0,44
|
514
|
864
|
-
|
-
|
Olein sawit merah
|
0,04
|
0,10
|
513
|
707
|
1,6
|
n.d.
|
RBD minyak sawit
|
0,04
|
0,10
|
Nil
|
561
|
1,6
|
n.d.
|
Sumber
: Choo et al. (1993)
Menurut
Ong dan Tee (1992), di alam telah diisolasi 600 jenis karotenoid. Karotenoid
yang terkandung dalam minyak sawit merah 91,18% diantaranya merupakan β-karoten
dan α-karoten yang mempunyai aktivitas provitamin A yang tinggi (Naibaho, 1990). Kadar
karoten minyak sawit merah 60 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak
goreng (Jatmika dan Guritno, 1997).
Minyak
sawit merah tidak dianjurkan digunakan sebagai minyak goreng, karena karotenoid
yang terkandung didalamnya rusak pada suhu tinggi. Minyak
ini lebih dianjurkan sebagai minyak makan sebagai menumis sayur, daging dan
bumbu. Minyak sawit merah juga baik digunakan dalam pembuatan salad oil (minyak salad), serta dapat
digunakan sebagai bahan fortifikan makanan untuk produk pangan berbasis minyak
atau lemak, seperti margarin dan selai kacang (Andarwulan et al. 2003).
used ford edge titanium - titanium-arts.com
BalasHapusThis is a power supply titanium used-ford edge titanium. This is a used-ford edge titanium. This 2017 ford focus titanium is titanium engagement rings a used-ford edge ford escape titanium titanium. This is a used-ford edge titanium. titanium i phone case